Senin, 21 Juli 2014

EVEN IF I LIVE JUST ONE DAY

haloooooooooooo~ :*
im back. setelah bangkit dari ke "mager" an gue. dan dengan sedikit bengong..
jadilah sebuah cerpen yang berjudul even if i live just one day (bahkan jika aku hanya hidup 1 hari) ini.

buat temen-temen yang sapa tau nungguin lanjutan senior high school's debut sabar yah~
alurnya dah dapet
tapi ngetiknya malesssssssssss bgtt.

ah sudah cukup basa-basi nya Happy Reading :3



Even If I Live just One Day A Story by Wahyuni Listiarini

   Selamat pagi. Aku menarik nafas panjang, kusingkirkan selimut yang masih menutupi sebagian kakiku. Seperti biasanya aku benci bertemu dengan pagi hari, dan selalu berharap agar Malaikat maut segera mencabut nyawaku ketika aku tertidur lelap ditengah malam.

“Sagaraaaa.. kamu sudah bangun kan?” 

   Aku mendengus kesal. Dialog yang sama yang selalu diucapkan oleh wanita itu. Berhentilah bersikap seolah-olah kau adalah ibuku bodoh!. Teriakku dalam hati.
Sejak usiaku 5 tahun, ibuku meninggal akibat kecelakaan. Sebelum hal itu terjadi ibuku terlibat pertengkaran besar dengan ayahku. Untuk pertama kalinya-diusia sebegitu mudanya- aku merasa sesak didada, sebuah perasaan yang mendorong pintu hatiku tertutup dengan rapat. Aku melihat ibuku menangis… dan hari itu juga aku mendapat kabar bahwa ibuku telah tiada.

Dan setahun belakangan wanita yang menjabat sebagai asisten ayahku ini resmi menjadi ibu tiriku. Persetan dengan keluarga ini.

“Sagara?! Kamu dengar mama kan? Jangan sampai hari pertama mu dikelas XI ini kamu membolos.” Ia berdiri tegap didepan pintu kamar.

Aku hanya menatapnya dengan pandangan yang merendahkan.
“dan bisakah kau berhenti bersikap seolah-olah kau adalah ibu kandungku?!!” 

“Sagara..!” wanita berusia 30 tahun itu membentakku.

Dan aku meninggalkannya dengan perasaan yang sama sekali tidak bersalah.
Pfft.. don’t give me a shit
***
 Sekolah? Aku tidak peduli dengan hal seperti itu. Aku akan masuk dan membolos sesuka ku. Aku merokok . ya-merokok namun tidak sampai kecanduan obat-obatan dan minuman keras. Tentu saja aku bukan orang bodoh yang mau merusak diriku sendiri.
Namun kebiasaan merokokku ini benar-benar tak bisa berjalan normal sejak gadis menyebalkan ini selalu mengikutiku.

“hey! Kau membolos juga rupanya.” Sapanya. Sebuah senyum manis menghias wajahnya.
Aku menautkan alisku dengan perasaan terganggu.

“kau perlu apa? Dan siapa nama-“ sebelum aku menyelesaikan kalimatku ia memotongnya begitu saja.

“Namaku Edel. Bunga Edelweiss.” Ia lalu mendekatiku dan mengambil tempat tepat disampingku.

Aku membuang rokokku. Kutatap wajah gadis itu. Bunga Edelweiss, hu? Cantik dan juga aneh. Ntah pujian itu kutuju kan untuk namanya atau orangnya.

Seakan mengerti akan pandanganku, ia berbalik kearahku. Ah…. Dan tak lupa untuk tersenyum kembali.

“Dulu, Sewaktu muda ayah dan ibuku adalah pendaki gunung, lalu mereka menikah dan mempunyai anak. Mereka menamai anak mereka dengan Bunga Edelweiss sebagai bukti cinta mereka yang abadi.” Tiupan lembut Angin pagi ini sedikit  Membuat rambutnya berantakan.

Dia cantik… secantik namanya. Edelweiss. aku mengakuinya dalam hati.

Tiba-tiba saja beberapa senior yang sedang menikmati rokoknya membuangnya dengan tiba-tiba dan berlari meloncati pagar-pagar yang menjulang tinggi itu.

What A Bad luck!

Ntah kerasukan apa, secara refleks aku menarik tangan gadis itu. Berlari kearah jalan tembus untuk meninggalkan lingkup sekolah ini tanpa memanjat pagar-pagar yang merepotkan itu.

***
“i-ini motormu?” gadis itu menatapku dengan wajah tak percaya.

“hn.”

“bukannya harusnya berada di parkiran sekolah?” tanyanya penasaran.

“hanya untuk berjaga-jaga, kalo keadaan kayak tadi.” Dengan gaya yang benar-benar tidak peduli aku mengeluarkan kunci motor dari saku ku. Beberapa menit kemudian aku sudah berada diatas motor dan…
Gadis itu masih saja terdiam disampingku dengan wajah kebingungan.

“Naik.” Perintah bodoh itu membuat Edel-ya gadis itu- hanya membulatkan matanya.

“eh?”
***
  Disinilah kami berdua. Berbaring diatas rerumputan. Tempat ini dulu tak sengaja kutemukan ketika aku membolos untuk pertama kalinya. Sebuah tempat yang cukup luas dan dipenuhi dengan rerumputan dan dandelion yang tumbuh dengan suburnya.

“Hey…kau masih kelas X kan?”  Tanpa berbalik aku bertanya kepadanya.

“ya.” Ia menatap Birunya Langit, ntah apa yang ada didalam pikirannya.

“dan kau sudah berani untuk membolos? Apalagi kau perempuan.” Sebenarnya aku tidak begitu tertarik dengan –apapun- itu yang berhubungan dengannya hanya saja…

“itu karena aku tidak merasa nyaman didalam kelas.” Ia memejamkan kedua matanya, menyembunyikan sepasang Kedua bola mata berwarna Hazeld miliknya.

“hmmmnn.” Aku mengerti. 

Pertama kali aku melihatnya, ia berjalan dikorridor dengan membawa tumpukan buku catatan sendirian. Semua orang memperhatikannya dengan tatapan aneh.
Jujur saja, aku hanya menatapnya sekilas dan seketika itu juga aku sadar….
Sebuah kertas tertempel dibelakang punggungnya. Tentu saja .. kalau hal itu sebatas untuk bahan candaan sudah cukup keterlaluan. Karena kata-kata tak senonoh yang…
Ah….

“kau harus belajar melawannya.” 1 kalimat itu mengudara bebas di udara.
Dia tersentak.

Aku pikir dia akan marah.

Dan nyatanya ia hanya tersenyum.

“akan ku coba. Terima kasih atas sarannya Kak Sagara”

   Sejak saat itu. Jika saja aku bisa memutar balikkan waktu aku hanya berharap agar aku dapat menarik kembali kata-kata itu, mengeluarkan perkataan seolah-olah aku tau segalanya.
***
Setelah itu banyak hal yang telah kami lakukan. Ntah apa yang ada didalam dirinya namun 1 hal yang pasti, aku merasa sangat nyaman.

Ia mengingatkan ku pada senyuman ibu ku yang telah lama tak lihat.
Aku jatuh cinta kepadanya.
***

Oh Tuhan……
Tak bisakah kau mencabut nyawaku saat ini? Kenapa Engkau Selalu merenggut orang-orang yang hamba kasihi?

***
Selamat pagi. Aku menarik nafas panjang, kusingkirkan selimut yang masih menutupi sebagian kakiku. Seperti biasanya aku benci bertemu dengan pagi hari, dan selalu berharap agar Malaikat maut segera mencabut nyawaku ketika aku tertidur lelap ditengah malam.

Dengan perasaan ogah-ogahan aku melirik kearah jam yang bertengger disamping tempat tidurku. 10.30 hu?

Baguslah.

Aku juga sedang tidak dalam mood untuk menghabiskan waktu disekolah.
Diatas meja belajarku, Laptopku masih kubiarkan menyala….
Mataku masih terasa sakit.

Pikiranku kacau.

Terima Kasih, kau telah mengirimkan ku email yang begitu dramatis.
Aku bangkit, dan segera bersiap-siap menuju toko buku. Aku sudah berjanji padanya untuk membeli buku itu.

“Halo kak.
Sudah berapa lama kita tak saling bertemu? 1 minggu? Atau lebih? Dan sayang sekali kita tidak akan bertemu untuk hari-hari berikutnya.
Harusnya dari awal aku mengatakannya. Aku punya fisik yang sangat lemah. Sebenarnya orang tua ku melarangku untuk ke sekolah namun tetap saja…
bertemu dengan kak sagara adalah aktivitas yang paling menyenangkan yang bisa dilakukan saat disekolah.
Mungkin kakak tidak begitu ingat atau bahkan tidak ingat sama sekali…
Tapi saat dikoridor itu bukanlah pertama kalinya kita bertemu.
jauh…sebelum itu kita pernah bertemu dengan sebelumnya.
Saat pertama kali menginjakkan bangku di bangku smp.
Kakak …
Menolongku. Dari beberapa anak laki-laki yang mengejekku.

Tak banyak hal yang dapat ku ucapkan. Mungkin surat ini juga tak berkesan sama sekali.
Tapi setidaknya… Aku bersyukur. Menjelang hari-hari terakhir dalam hidupku, aku bisa menghabiskan waktuku bersamamu.
namun-sayang sekali yah
J
Misiku untuk membuat kakak jatuh cinta kepadaku gagal, ya-mungkin inilah yang terbaik karena pada kenyataannya akan sangat menyakitkan…
jika kakak jatuh cinta kepadaku disaat yang tidak tepat.
dan mungkin juga salahku… yang meninggalkan dunia ini terlalu cepat. Hehehe
Kakk.. jangan suka ngebolos lagi yah?
merokok juga.. jangan! Oke?
dan…


Aku memegang sebuah buku atau lebih tepatnya Novel. “Times” begitulah judulnya ….
cover buku ini , bergambar sebuah gadis yang memperhatikan seorang anak laki-laki dari kejauhan.

buku terakhir yang sempat ia selesaikan sebelum jantungnya benar-benar berhenti berdetak.
Dan..
Jangan lupa untuk membeli novel pertamaku :D”

***
Tak banyak hal yang bisa kulakukan semenjak ia benar-benar menghilang dalam kehidupanku.
dan tentu saja ini akan menjadi kebohongan besar apabila aku tidak mengatakan bahwa aku bersedih.
Perasaanku hancur…
Karena orang…yang berhasil membuka hatiku juga adalah orang yang menghancurkannya juga.
Aku menarik rambutku frustasi.
Halaman 117.
Times.

“Aku ingin dia mengatakan bahwa dia menyukaiku…
itulah permohonan terakhir dalam hidupku…
ah..waktuku habis..
selamat tinggal…
dan kini aku telah kembali kedalam pelukan-Nya”

 Bahkan untuk mengabulkan keinginan terakhirnya saja aku tak bisa.

Benar-benar tidak berguna……………………………………….


END.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar